Saturday, June 27

lost in Siem Riep

Cerita ini sebenarnya sudah berlangsung lama, tepatnya tahun 2013. Waktu itu aku dapat kesempatan ikut acara workshop yang difasilitasi oleh kantor regional. Ada beberapa peserta dari Indonesia yang turut serta di acara workshop ini. Peserta dari Negara lain yang turut serta ada yang dari Thailand, Vietnam, Pakistan, Bangladesh, Nepal, Timor Leste, India, Swedia, dan peserta dari Cambodia sendiri. Acara workshopnya sendiri tak perlu aku ceritakan. Lazimnya workshop, agendanya seperti biasa; presentasi, diskusi dan diskusi. cerita yang ingin kubagi di tulisan ini justru agenda tambahannya atau agenda jalan-jalan. Rugi kan jauh-jauh ke negeri orang kalau tidak menyempatkan menyusuri jalan dan tempat-tempat eksotis di Cambodia, khususnya di Siem Riep.

Cambodia selayang pandang

Sebagai sebuah negara, usia Cambodia sebenarnya sama tuanya dengan Indonesia. Namun sebagai Negara modern---walau belum bisa benar-benar disebut Negara modern--masyarakat Cambodia bisa menikmati kebebasan di akhir tahun 1980-an setelah dilanda perang saudara yang berkepanjangan. Tentang sejarah Cambodia dan sejarah perang saudara-nya, tak perlu diceritakan di sini. Banyak tautan yang menyediakan informasi tentang Cambodia termasuk perjuangan mereka menghadapi invasi Negara lain. Salah satunya bisa ditelusuri di sini, atau bisa juga diklik di sini untuk sejarah perang saudaranya.

Akar budaya masyarakat Cambodia bisa dibilang sangat dekat dengan masyarakat Indonesia, khususnya dengan akar budaya masyarakat Jawa. Ini bisa dilihat dari aneka jenis masakan, tari-tarian dan musik tradisionalnya hingga bentuk-bentuk alat pertanian tradisional yang digunakan di Cambodia, benar-benar mirip dengan petani Jawa. Salah satu alat pertanian yang mirip adalah cangkul, juga cikrak--di Jawa biasanya dibakai untuk menampung sementara sampah yang sudah disapu sebelum dibuang ke tempat sampah. Cikrak oleh masyarakat Jawa juga digunakan untuk mengangkut tanah, atau pasir dari sungai. Bahannya terbuat dari anyaman bambu.

Siem Riep adalah destinasi wisata paling populer di Cambodia saat ini. Tempat ini semacam Bali-nya Indonesia. Banyak turis mancanegara menghabiskan liburan di tempat ini. Di tempat ini banyak dijumpai cafe tempat para turis menghabiskan malam-malamnya sambil ngebir dan menikmati live music. Di kawasan yang mirip Legian-Bali ini kita juga bisa mencari aneka cinderamata, mulai T-Shirt, kalung, gelang, atau Tuk-tuk Mini---mode transportasi semacam becak tapi menggunakan mesin motor.

Tidak jauh dari Siem Rieap, kita bisa menyusuri petilasan kuno, berupa kawasan candi yang aku duga dibangun sekitar abad 7 M, sezaman dengan candi-candi yang dibangun di Indonesia masa Mataram Kuno yang banyak dijumpai di Jawa Tengah. Jika di Jawa Tengah kita punya Prambanan dan Borobudur, maka candi terbesar dan termegah di Cambodia adalah Angkor Watt. sebenarnya ada banyak situs peninggalan bersejarah di kawasan ini selain Angkor Watt sendiri ada banyak candi lain yang tidak kuingat namanya satu persatu. Di masa lalu sepertinya tempat ini merupakan bekas pusat kerajaan. Salah satu situs yang paling terkenal adalah candi yang menjadi lokasi syuting film Thomb Rider dengan Angelina Jolie sebagai pemeran utamanya. Di lokasi ini banyak ditemui pohon-pohon raksana yang berusia ratusan tahun.

Ada kejadian menggelikan yang aku alami ketika jalan-jalan di kawasan Angkor Wat ini. Saat itu kami serombongan dengan para peserta workshop dari berbagai negara. Setelah mendapat briefing dari koordinator panitia, rombongan sepakat akan bertemu di ujung pintu keluar jam 17.00 karena setelah itu gerbang akan ditutup dan pengunjung tidak dibolehkan masuk lagi.Berbekal kamera yang sudah aku siapkan dari Jakarta, aku tidak sabar untuk segera membidik obyek-obyek menarik di dalamnya, tidak ketinggalan selfie di beberapa sudut lokasi itu. Awalnya semua berjalan lancar, aku berjalan bersama rombongan lainnya menyusuri sudut-sudut kawasan wisata ini. Tentu saja yang paling menarik adalah obyek pohon-pohon besar menjulang tinggi yang usianya sudah ratusan tahun seperti aku sebutkan di atas. Beberapa pohon tampak akarnya membelit candi. Terlihat candi-candi itu dicengkeram oleh akar-akar pohon dan inilah yang menyebabkan candi-candi rusak.

Waktu terus berjalan sampai aku tidak menyadari rombongan satu persatu hilang dari pandangan mata. Tinggal aku dan Olle, seorang kolega dari Swedia yang juga baru sekali ini menjejakkan kaki di Angkor Wat. Karena masih diliputi rasa penasaran dan keingintahuan situs ini, aku mencoba sekali lagi memutar kawasan dan mengembil beberapa kali jepretan. Karena matahari berangsur tenggelam, aku memutuskan mengakhiri perburuan obyek ini. Lalu aku carilah pintu keluar. Usaha untuk mencari pintu keluar rupanya tidak mudah, setelah belok kanan-belok kiri dan bolak-balik melalui lorong situs ini aku tidak juga menemukan pintu keluar yang dimaksud. Setelah merasa lelah, akhirnya aku putuskan kembali ke gerbang masuk utama. Rupanya tidak kutemukan seorangpun anggota rombongan. Aku pun berusaha bertanya ke beberapa orang petugas dan sopir tuk-tuk di dekat pintu gerbang ini menanyakan keberadaan anggota rombongan yang kumaksud. Tak seorangpun tahu rombongan yang aku cari. Ini membuatku hampir putus asa. Malangnya lagi, HP ku hilang, entah ketinggalan di mana. Dugaanku jatuh saat terlalu asyik naik turun di beberapa situs candi sebelumnya. Pada titik ini aku menyadari kalau benar-benar terpisah dari rombongan. Maka aku putuskan kembali ke hotel dengan menumpang Tuk-Tuk yang ada di dekat gerbang pintu masuk. Setelah nego, akhirnya aku diantar Tuk-Tuk dengan tarif kurang lebih 15 USD.

Begitu sampaai di hotel, aku masih penasaran karena belum satupun teman rombonganku tiba. ah sudahlah, aku naik ke kamar dan mandi biar segar.  Saat itulah ada dering telepon masuk. Rupanya telpon dari kolega Jakarta yang sekaligus ketua rombongan. Di seberang telepon kolegaku ini menunjukkan ekspresi kepanikan tapi merasa lega mengetahui aku sudah sampai di hotel. Sampai di sini semuanya berjalan biasa-biasa saja. Esoknya, kolegaku ini cerita bagaimana paniknya dia mencariku di lokasi wisata. Bahkan dia sudah minta bantuan petugas untuk mencarikuku dengan menunjukkan ciri-ciri fisik dan baju yang aku kenakan (sweater orange dan bertopi). masih ceritanya, petugas yang diminta sudah mencoba menyusuri ke dalam dan hasilnya tetap nihil, sampai akhirnya dia kepikiran untuk menelusuri keberadaanku mungkin sudah sampai hotel. Akhirnya cerita hilangnya aku di Angkor Watt jadi bahan ledekan di obrolan-obrolan selama acara.

#####













Friday, January 7

Gayus di Sarang Penyamun

Sony Laksono a.k.a Gayus kembali menjadi buah bibir. Popularitas pesakitan kasus mafia pajak ini kian hari kian meroket. Gayus telah menjadi selebritis baru. aku punya keyakinan kalau popularitas Gayus melebihi popularitas si Dagu Lancip, yang berambisi besar menjadi RI-1 di 2014. Jangankan di kalangan menengah kota, di mata orang-orang "kecil" dan "terpinggirkan" pun namanya sangat-sangat familiar.

Nama Gayus mulai meroket sejak terkuaknya mafia pajak yang melibatkan sejumlah petinggi polisi dan aparat penegak hukum lainnya. sebagian orang meyakini bahwa Gayus tak lebih dari boneka mainan para mafioso yang banyak bercokol di institusi-institusi resmi negara. Tetapi sebagian lain juga meyakini bahwa Gayus adalah orang hebat. Banyak orang tersandera oleh keberadaan Gayus dan kasus yang membelenggunya. Meski kasus ini sudah berjalan cukup lama, namun hingga hari ini belum ada tanda-tanda titik terang. Beberapa orang memang sudah divonis bersalah, namun mereka ini bukan aktor-aktor kunci. kesimpulannya masih banyak mafioso kelas kakap yang belum tersentuh hukum sampai hari ini.

Kasus Gayus menjadi potret betapa terpuruknya penegakan hukum di republik ini.